Sabtu, 23 April 2011

penggalangan bantuan

Telah sebulan bencana gempa dan stunami di Jepang berlalu,namun sejuta persoalan yang timbul belum lagi pulih.Tak teperikan derita para korban bencana gempa,tsunami,radiasi nuklir di wilayah Tohoku– utara Pulau Honshu,Jepang, sejak 11 Maret 2011.


Bantuan kemanusiaan dari segala penjuru dunia,individu,maupun masyarakat yang terdekat sangat diperlukan.Jepang yang notabene negara maju ini tidak sendiri. Lebih 28.000 orang tewas dan hilang akibat bencana alam itu.Persoalan tak selesai dalam waktu dekat.Radiasi nuklir hingga saat terakhir ini terbilang rumit,resmi dinyatakan berada pada level 7,level tertinggi dalam standar internasional, pada 12/4.Pemulihannya memakan waktu tahunan. Zona aman meluas menjadi 40 km dari wilayah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi.

Hitungan-hitungan teori dibuat,tapi bagaimanapun masyarakat tetap ingin kembali hidup normal. Pemerintah memindahkan mereka ke tempat aman dengan membangun penampungan sementara,atau kembali ke rumah mereka semula dengan memperhatikan kondisi yang terukur aman.Banyak pengamat dari berbagai siaran televisi dunia menganggap ini tidak mudah. Seluruh dunia belajar dari kejadian ini,baik dari segi rencana pembangunan PLTN, prosedur menghadapi gempa dan tsunami,manajemen menghadapi gempa dan tsunami, kekuatan bangunan menghadapi gempa,serta manajemen psikologis aftershock. Sekarang mereka yang selamat harus melanjutkan hidup.Mereka membutuhkan semangat hidup.

Dua minggu sejak bencana,Pemerintah Jepang secara nasional dan regional mulai menata pemulihan fisik wilayah bencana, mengucurkan bantuan finansial berupa santunan hidup,hingga pemulihan jiwa secara psikologis. Tak dipungkiri jika warga Jepang mengalami stres,trauma, dan depresi.Para dokter dan psikolog datang ke sentra penampungan untuk memeriksa kesehatan dan mendengarkan keluhan mereka. “Para korban membutuhkan konseling.Dengan mendengarkan cerita kesedihan mereka, maka jiwa yang sesak oleh kesedihan bisa plong tersalurkan,”ujar seorang psikolog yang diwawancarai televisi NHK.Itu pun tidak serta-merta menyelesaikan persoalan.

“Seorang pengacara mencoba memberi bantuan konsultasi hukum namun akhirnya hanya bisa duduk mendengarkan cerita dan keresahan para korban,tanpa bisa memberikan bantuan hukum sesuai bidangnya,” ujar seorang Jepang di Minamisanriku, Miyagi.Dari contoh tersebut, dapat dinilai bahwa betapa peliknya persoalan yang harus diselesaikan. Keadaan depresi dan trauma seperti ini,apabila tidak bisa terekspresikan,bisa berbahaya bagi psikis dan kesehatan mereka.Seorang anak yang kehilangan orang tuanya menjadi tak ceria layaknya anak-anak.Itu sebabnya,di penampungan anak-anak diajak bermain bola,bermain apa saja yang menghibur mereka.

Para orang tua diajak menyanyi sambil mendengarkan musik, didatangkan pula tenaga untuk memijati para pengungsi dan berolahraga bersama karena mereka tidak banyak bergerak.Setidaknya ini memberikan hiburan dari gundah hati mereka. Program home stay diperkenalkan.Lapangan pekerjaan juga dibuka,antara lain di kantor pemerintah kota yang para karyawannya banyak tewas dan hilang. Ada perorangan sengaja datang ke lokasi bencana mengendarai kendaraan pribadi, memberikan apa yang bisa mereka berikan,ataupun kelompok masyarakat yang mengirim barang kebutuhan dan makanan siap saji.

Sebut saja Masjid Otsuka-Tokyo (Japan Islamic Trust Masjid) milik orang-orang Pakistan yang memberangkatkan bantuan kebutuhan bagi pengungsi yang hingga kini telah melakukan 11 kali pengiriman. Komunitas muslim Indonesia dan Malaysia di Tokyo juga menggalang bantuan untuk para korban. Menurut Rajib Shaw, associate professor di Laboratorium International Environment and Disaster Management dari Graduate School of Global Environmental Studies di Kyoto University, dalam keadaan seperti ini diperlukan koordinasi manajemen antara departemendepartemen di pemerintahan pusat,antara pemerintah pusat dan lokal,serta melibatkan non-government organization dan organisasi lain yang menjalankan bantuan kemanusiaan.

“Di wilayah bencana perlu dibentuk sentra koordinasi “one stop shop”untuk semua informasi. Koordinasi horizontal dengan semua unsur terkait, dan koordinasi vertikal dengan pemerintah pusat dan pemerintah lokal,”tulis Rajib Shaw dalam opininya di Kyodo News (25/3) yang berjudul Opinion: Does Japan need assistance? “Chikara wo awaseru (satukan kekuatan),kita perlu bahu membahu bekerja sama membantu meringankan beban para korban yang masih bertahan, yang terluka,berduka, kehilangan harta benda,bahkan kehilangan nyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar